RESENSI BUKU
Judul : Harapan Itu Masih Ada
Penulis : Titiana Adinda
Penerbit : Elex Media Komputindo
Genre : True Story
Terbit : 2008
Tebal : 103 hlm.
HIDUP, SEPATUTNYA DIBELA!
Oleh: Y. Budi U*
Sedikit orang yang mampu menulis tentang “rahasia” dirinya, kecuali untuk otobiografi dan kepentingan publikasi. Titiana Adinda, bagian dari jumlah yang sedikit itu. Rahasia ‘penderitaan’ hidup, apalagi menyangkut eksistensi diri, memang tak seharusnya murah diumbar. Pengakuannya dalam pengantar, Dinda menulis, “Sungguh tidak mudah mengingat kembali peristiwa menyedihkan ini. Bahkan tak jarang meneteskan air mata saat menuliskannya.”
Datangnya cobaan
Meningoensefalitis adalah radang infeksi yang menyerang selaput dan jaringan otak. Efek yang ditimbulkan berupa kelumpuhan tubuh bagian kanan, kelopak mata mengecil, bahkan amnesia. Lebih dari itu, Dinda mengalami meningoensefalitis Tb (tuberkulosis), dimana bakteri TBC ikut andil menyerang selaput otaknya. Bisa dibayangkan bagaimana Dinda ‘belajar keras’ menerima keadaan dirinya. Dan, Dinda menuliskan semua pengalaman itu dengan lugas, sekaligus menegaskan ketegarannya yang luar biasa.
Kehilangan ingatan merupakan satu siksaan tersendiri. Terutama bila kenangan akan aktivitas menyenangkan yang pernah dilakukannya tak bisa dilakukan lagi. Untuk melakukan hal-hal biasa (rutin) saja tentu menjadi kerinduan luar biasa. Di bagian-bagian selanjutnya, Dinda bercerita bagaimana ia harus belajar lagi mengoperasikan Mic. Word, sebuah aktivitas biasa yang telah mahir dilakukannya jauh sebelum sakit.
Masa pemulihan
Keakrabannya dengan penderitaan di saat sakit, membuat Dinda mulai terbiasa dan bisa menerima keadaan dirinya. Perlahan-lahan, Dinda bangkit sebagaimana ia sendiri mengeraskan hati untuk sembuh. Aktivitas demi aktivitas dia lakukan, konsultasi, terapi, dan menulis artikel di media massa.
Yang menarik adalah tumbuhnya kesadaran Dinda untuk melakukan konsientisasi tentang meningoensefalitis, termasuk dituliskannya di buku ini. Tentunya supaya jangan ada lagi orang yang terkena penyakit ini. Menurut data dari berbagai sumber, angka kematian penderita meningoensefalitis di Indonesia mencapai 18-40 persen, dengan angka kecacatan 30-50 persen.
Meningitis sendiri, lebih sering terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-2 tahun. Gejala yang umum terjadi adalah demam, sakit kepala, dan kekakuan otot pada leher. Penderita ini juga mengalami fotofobia (takut cahaya) dan fonofobio (takut dengan suara yang keras), mual, muntah, sering tampak bingung, susah untuk bangun tidur, bahkan tak sadarkan diri. Pada bayi, umumnya menjadi sangat rewel dan terjadi gangguan kesadaran. Gejala lainnya adalah warna kulit menguning (jaudice), tubuh dan leher terasa kaku, demam ringan, tidak mau makan atau minum ASI. Tangisannya pun menjadi lebih keras dan bernada tinggi, serta ubun-ubunnya terdapat benjolan atau bagian itu terasa kencang.
*Y. Budi U, Ketua Komunitas Studi INSPICIO
No comments:
Post a Comment